Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
Pergulatan Etika Jurnalisme di Era Digital. Verifikasi atau Viral?
Kamis, 12 Juni 2025 18:22 WIB
Di era media sosial yang serba cepat, jurnalis dihadapkan pada dilema etika serius, mementingkan kecepatan viral atau ketepatan verifikasi?
***
Di era digital yang serba cepat, media sosial telah menjadi episentrum informasi. Platform seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok bukan lagi sekadar tempat berbagi momen pribadi, melainkan juga medan pertarungan bagi berita dan narasi. Fenomena ini, tak terhindarkan, membawa makna besar bagi dunia jurnalisme. Perkawinan antara kecepatan media sosial dan prinsip-prinsip jurnalisme profesional melahirkan serangkaian masalah etika yang kompleks, menuntut kita untuk meninjau ulang batasan dan tanggung jawab.
Salah satu dilema etika yang paling mencolok adalah kecepatan versus akurasi. Media sosial mendorong jurnalis untuk menjadi yang pertama dalam memberitakan berita. Namun, tekanan untuk segera memublikasikan seringkali menghabiskan proses verifikasi yang cermat. Informasi yang belum terkonfirmasi, bahkan hoaks, dapat dengan mudah menyebar layaknya api.
Jurnalis, yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran, berisiko menjadi penyebar disinformasi jika tidak berhati-hati. Kredibilitas institusi media dan kepercayaan publik menjadi taruhannya. Jurnalis di Kota Bandung memanfaatkan media sosial sebagai data awal pencarian informasi. Namun, kecepatan informasi media sosial sering melampaui kecepatan info liputan dari kantor. Jurnalisme membutuhkan media untuk menjadi wadah penyebarluasan informasi yang terdapat dalam berita. Namun, jika informasi yang diperoleh dari media sosial tanpa dicari kebenarannya dapat berakibat fatal bagi tugas jurnalistik karena pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Di media sosial, batas antara opini pribadi dan laporan faktual menjadi samar. Jurnalis, sebagai individu, memiliki akun pribadi di mana mereka mengekspresikan pandangan. Namun, bagaimana terpisahnya identitas profesional dari persona pribadi ketika keduanya terpampang di ranah publik yang sama? Cuitan atau unggahan yang bias, bahkan jika dimaksudkan sebagai opini pribadi, dapat mencoreng reputasi jurnalis dan media tempat mereka bekerja. Seorang wartawan dalam meliput dan menulis berita tidak boleh memihak, tapi harus berlaku adil dan memberi kesempatan yang sama dalam pemberitaan kepada semua sumber berita.
Media sosial memungkinkan akses tak terbatas ke kehidupan individu, termasuk narasumber atau bahkan subjek berita yang tidak disadari. Jurnalis memiliki kekuatan untuk menggali informasi dari profil publik, tetapi di mana batas etisnya? Apakah semua yang diunggah di media sosial otomatis menjadi konsumsi publik yang sah untuk diberitakan?
Penggunaan konten dari media sosial tanpa izin atau tanpa mempertimbangkan dampaknya pada individu dapat melanggar privasi dan menimbulkan konsekuensi etis yang serius. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mengatur cara pemberitaan yang dibuat wartawan dan sumber berita yang akan dijadikan hubungan kerja
Lalu, bagaimana jurnalisme dapat mengatasi tantangan ini? Jurnalis perlu menerapkan protokol yang ketat untuk memastikan kebenaran informasi sebelum memublikasikannya. Jurnalis perlu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Menguji informasi berarti melakukan cek dan recheck tentang kebenaran informasi itu.
Informasi dan data merupakan bahan pokok jurnalis dalam membuat berita. Media sosial bisa merupakan sarana yang dikatakan efektif dan paling cepat dalam mendapatkan data. Namun pemanfaatan media sosial sebagai ide awal pemberitaan tetapi pada hakekatnya hanya sebatas ide atau informasi awal karena jurnalis harus tetap melakukan proses peliputan. Keabsahan informasi dapat diperoleh jurnalis dengan cara melakukan cek dan recheck kebenaran informasi dengan cara terjun langsung ke tempat kejadian perkara, ataupun menghubungi narasumber langsung dengan melakukan wawancara.
Pada akhirnya, media sosial adalah alat yang kuat. Ia bisa menjadi berkah atau kutukan, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Bagi jurnalis, tantangan etika di media sosial adalah panggilan untuk kembali pada esensi profesi: mencari kebenaran, menyampaikan dengan adil, dan melayani kepentingan publik. Hanya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip etika inilah jurnalisme dapat mempertahankan integritasnya dan terus menjadi pilar demokrasi di tengah hiruk pikuk dunia digital.
Referensi :
Djuroto, Totok Djuroto. 2010. Manajemen Penerbitan Pers. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Kovach, Bill & Tom Rosentiel. 2001. The Element of Journalism. USA: Three River Press.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pergulatan Etika Jurnalisme di Era Digital. Verifikasi atau Viral?
Kamis, 12 Juni 2025 18:22 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler